Oleh: Bambang Arianto |
Dinamika
politik Indonesia masih saja dipenuhi oleh watak kekuasaan. Hal itu bukan saja
terjadi pada pemerintahan sebelumnya, tapi juga dialami oleh pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla). Watak kekuasaan selalu menjadi magnet utama
dalam ranah politik Indonesia. Bahkan, paska kontestasi Presidensial 2014,
aroma bagi-bagi kekuasaan terutama dalam upaya menempatkan orang yang dinilai
berjasa sangat kentara. Termasuk bagi-bagi kekuasaan yang terjadi di sejumlah
Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ironisnya,
aroma watak kekuasaan juga menyeret nalar politik para relawan Jokowi-Kalla
untuk larut dalam permainan politik balas budi. Sebut saja, Cahaya Dwi Rembulan
Sinaga yang menjadi komisaris independen Bank Mandiri, Pataniari Siahaan
(komisaris Bank Negara Indonesia), Sonny Keraf (komisaris Bank Rakyat
Indonesia), Jeffry Wurangin (komisaris Bank Rakyat Indonesia), Refli Harun
(komisaris Jasa Marga), dan Diaz Hendropriyono (komisaris Telkomsel). Bahkan,
nama Sukardi Rinakit disebut-sebut ditawari masuk jajaran komisaris Bank
Tabungan Negara, meskipun akhirnya menolak.
Penempatan
sejumlah relawan di sejumlah pos komisaris BUMN memang ada yang dinilai tepat,
seperti mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution yang diberi amanah
sebagai komisaris Bank Mandiri. Tetapi, banyak relawan yang kesannya
dipaksakan, hanya demi memenuhi watak kekuasaan, sehingga cara-cara nepotisme
lebih mengemuka.
Mafhum
disadari, bahwa praktik menempatkan sejumlah orang kepercayaan di jajaran BUMN
sebenarnya cara-cara klasik seperti kerap dilakukan Presiden sebelumnya, yang
mana kala itu peran dan fungsi relawan tidak begitu dominan. Namun, tentulah
berbeda jika dibandingkan dengan pemerintahan Jokowi saat ini, yang mana
relawan berperan aktif menjadi saluran partisipatoris baru non-partai.
Sejatinya
penempatan para relawan harus mengedepankan prinsip manajemen tata kelola,
penempatan tersebut harus berdasarkan prinsip-prinsip integritas, transparansi,
dan imparsialitas, bukan justru mengedepankan politik balas budi. Alhasil,
langkah pemerintah merujuk para relawan menjadi komisaris BUMN dapat menjadi
preseden buruk bagi masa depan dan upaya menghidupkan nilai-nilai kerelawanan
(volunterimse) di Indonesia.
Kategori
Relawan
Mengutip
Amalinda Savirani (2015), relawan dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok.
Pertama, relawan yang berasal dari mantan aktivis yang terlibat dalam kisaran
tahun 1990-an atau lebih dikenal sebagai aktivis gerakan pro-demokrasi untuk
menggulingkan rezim Soeharto. Kedua, adalah aktivis dari berbagai organisasi
non-pemerintah mulai dari gerakan anti-korupsi, petani dan kelompok masyarakat
adat.
Ketiga,
adalah seniman dan orang-orang di sektor kreatif. Kelompok pertama dan kedua
memiliki agenda politik, namun sayangnya tidak memiliki massa yang jelas.
Berbeda dengan kelompok ketiga yang tidak memiliki agenda politik tetapi
memiliki banyak jejaring massa dari semua lapisan masyarakat. Hal itu
disebabkan bekal popularitas yang dimiliki oleh para artis dan seniman sehingga
dapat menarik lebih banyak pendukung dan pengikut.
Kategori
tersebut akhirnya dapat menjelaskan soal karakteristik relawan yang muncul dari
berbagai aspek kehidupan sekaligus berperan sebagai pengawas dan pengimbang
terhadap kekuasaan negara. Sebab, di negara yang sudah mapan dan paling
demokratis sekalipun tidak ada suatu jaminan bahwa “trias politika” mengenai
pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) dapat berjalan dengan
baik dan ideal.
Dalam
upaya membangun demokrasi ekstra-parlementer, para relawan Jokowi-Kalla
sejatinya harus tetap berada diluar pemerintahan sebagai pengawas dan
pengontrol pemerintahan. Sebab, tugas utama para relawan adalah meneliti
sebab-akibat dari kinerja kebijakan dan program publik. Terutama, soal apakah
suatu kebijakan publik dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang
atau hanya diputuskan sepihak untuk memenuhi kepentingan politik semata.
Langkah taktis tersebut ditujukan untuk menegaskan posisi relawan tidak saja
berperan sebagai pengembira, tetapi juga mampu menjadi pengawas pemerintahan
Jokowi-Kalla secara komprehensif.
Oleh sebab
itu, ada beberapa langkah taktis yang perlu diambil oleh para relawan; Pertama,
relawan harus dapat menawarkan wacana pemikiran alternatif di tingkat ideologi
sebagai jalan lain atau tandingan bagi konsep kebijakan publik yang dikeluarkan
oleh pemerintahan. Kedua, relawan dituntut bukan sekadar hanya mampu berwacana,
melainkan juga memberikan contoh nyata atau konkret mengenai penerapan di
lapangan, sehingga mampu menyandingkan wacana publik dengan pemerintah.
Ketiga,
relawan harus mampu menyediakan berbagai informasi yang berguna bagi publik
terutama seputar kebijakan pemerintahan. Informasi ini sejatinya mampu menjadi
suplemen bagi pemberdayaan, pendidikan politik melalui jejaring diskusi secara
reguler baik yang dimulai dari kota sampai ke komunitas-komunitas basis di
desa. Kondisi ini akan menciptakan suasana dan mendorong orang saling
berdiskusi dan melahirkan partisipasi aktif. Hal itu diperkuat dengan lenturnya
gerak relawan dalam melakukan sosialisasi dan komunikasi politik karena tidak
terikat oleh partai politik tertentu.
Epilog
Akhirnya,
meskipun banyak pihak yang menilai penempatan para relawan di jajaran BUMN,
sebagai langkah antisipatif untuk memperkuat posisi politik pemerintahan
Jokowi-Kalla, Namun, penempatan para relawan seperti ini menunjukkan Presiden
Jokowi kembali ingkar janji dan telah mengkhianati seruan revolusi mental. Jika
cara penempatan ini terus merebak dijajaran BUMN, hal itu semakin menguatkan dugaan
yang menilai BUMN adalah “sapi perah” pemerintahan Jokowi-Kalla.
Pada
akhirnya, jika para relawan masih larut dalam watak kekuasaan yang sarat
politik balas budi, eksesnya hakikat nilai-nilai kerelawanan (volunterisme)
akan semakin tergerus. Selain itu, impian para relawan untuk mengawal komitmen
pemerintahan Jokowi, terutama menjadikan BUMN sebagai pilar penting dalam
pembangunan hanya akan sekedar menjadi basa-basi politik. Walhasil, dalam upaya
menagih Nawacita Jokowi-Kalla akan lebih bijak dan arif, para relawan
Jokowi-Kalla tetap berada diluar pemerintahan, agar ideologi kerelawanan tidak
disesaki oleh watak kekuasaan.***
Penulis
adalah Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM Yogyakarta,
dan Pegiat Forum Penulis Muda Jogja.
Tidak ada komentar: