Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Membangun Ekonomi Pedesaan

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz

(Direktur Eksekutif Monash Institute, Peneliti di Center for Democracy and Religious Studies UIN Walisongo Semarang)
Secara umum, permasalahan pedesaan yang belum tersentuh dengan baik adalah kesenjangan pembangunan antara desa dan kota. Sebab, pemerintah selama ini cenderung mengacu kepada pembangunan yang besifat sentralistik, yaitu pembangunan yang terpusat di perkotaan saja. Sehingga, biaya yang dikeluarkan pemerintah hanya sedikit saja yang mengalir ke pedesaan. Padahal, UUD NRI 1945 menegaskan bahwa pembangunan Indonesia harus dilandasi dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, bukan hanya keadilan ekonomi.
Namun, persoalan ini sepertinya akan segera bisa diatasi. Semenjak disahkannya UU Desa beberapa waktu lalu lengkap dengan perbaikan-perbaikannya, harapan untuk membangun ekonomi pedesaan kembali menguat. UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 memiliki implikasi bahwa setiap desa akan mendapat perhatian dan kepercayaan lebih dari pemerintah untuk mengelola pemerintahan secara berkesinambungan dan transparan.
Wajar saja, kucuran dana cukup besar yang akan didapatkan masing-masing desa, tentu akan memuluskan rencana pembangunan pedesaan, terutama pembangunan ekonomi. Jika dana sudah ada, yang menjadi permasalahan adalah apa yang seharusnya dilakukan oleh kepala desa dan perangkatnya. Jangan sampai dana ada, tetapi aparatur desa tidak mampu menyerapnya untuk kesejahteraan masyarakat desa, atau bahkan akan ada banyak kepala desa yang masuk bui karena menyelewengkan dana desa tersebut. Itulah yang harus diantisipasi. Oleh sebab itu, mereka harus merencanakan pembangunan itu secara matang dan transparan.
Dulu, ada yang namanya Koperasi Unit Desa (KUD) yang menyediakan berbagai kemuduhan untuk masyarakat desa dalam memajukan kehidupannya lewat berbagai cara. Kini, dana yang akan dikucurkan oleh pemerintah kepada masing-masing desa, harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, sehingga cita-cita UU Desa bisa tercapai.
Selama ini, selain terkendala masalah dana, kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas menjadi akar persoalan yang belum bisa dituntaskan. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya peningkatan kualitas SDM di desa-desa. Revolusi mental harus dilakukan terhadap masyarakat desa, terutama sekali adalah para kepada desa. Ya, paradigma mereka haruslah ditata terlebih dahulu, agar ada kesinambungan maksud pemerintah dengan keinginan masyarakat.
Setelah paradigma masyarakat desa lurus, maka langkah selanjutnya dalam rangka membangun ekonomi pedesaan akan lebih mudah. Misalnya dengan menggelar pendidikan dan latihan (Diklat) kewirausahaan, sampai pada praktik usaha riil yang bisa dijalankan secara berjamaah oleh masyarakat desa. Hal ini penting, karena akan sangat berpengaruh terhadap penyerapan dana desa yang akan diterima oleh masing-masing desa.
Pembangunan ekonomi pedesaan sudah di depan mata. Para aparatur desa harus menyiapkan straegi-strategi jitu yang akan membawa pada kesejahteraan masyatakat dan kemajuan desa. Apalagi pada 2015 ini, Indonesia masuk dalam Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (Bahasa Inggris: ASEAN Free Trade Area, AFTA). Tentu saja persaingan global akan semakin kompetitif sehingga memaksa pemerintah bertindak bijaksana. Salah satu alternatifnya adalah membangun (kembali) ekonomi pedesaan, agar menjadi desa produksi yang membantu menempatkan Indonesia pada posisi berpengaruh dalam AFTA.
Membangun Ekonomi Luar Jawa
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun, sampai sekarang, kesejahteraan rakyatnya belum terjamin oleh nagara. Hanya beberapa gelintir orang pihak saja yang menguasai kekayaan kita. Dalam konteks geografi, pembangunan Indonesia lebih tepusat di Jawa. Hal ini disebabkan oleh Ibukota negara yang memang menjadi pusat pemerintahan berada di Jawa, DKI Jakarta. Namun, tidak bisa dibenarkan ketika kesejahteraan hanya dimiliki oleh orang-orang kota, apalagi hanya di Jawa.
UUD NRI 1945 mengamanatkan, selain dalam Pembukaan sebagaimana dijelaskan di atas, pada Pasal 34 ayat (2) bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pada Pasal (3), “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Tentu menjadi tidak seimbang ketika pembangunan hanya terkotak-kotak pada suatu daerah.
Pembangunan pendidikan yang layak bagi seluruh Indonesia, juga masih belum maksimal diberikan. Dalam era yang serba modern ini, Indonesia diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Sangat tidak adil, jika pendidikan luar Jawa diabaikan. Kecenderungan ini akan melahirkan kecemburan sosial warga negara. Nah, pemerintah lewat MendikdasmenBud harus menata kembali pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia, agar amanat konstitusi tidak tercederai.
Sebagai negara yang memegang teguh prinsip keadilan, sebuah keniscayaan adalah membangun Indonesia secara keseluruhan. Sambil membangun kesejahteraan luar Jawa dimulai dari pendidikan, adanya UU Desa menjadi jalan tengah sekaligus alat untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Strategi pembangunan harus diperjelas. Fokus pembangunan infrastruktur, perlu diseimbangkan dengan pembangunan ekonomi kerakyatan, yang itu berorientasi jangka panjang.
Ekonomi kerakyatan didasarkan oleh rakyat dan semata-mata untuk kepentingan rakyat. Ini menjadi urgen, apalagi di era globalisasi ini, menjadikan gotong royong sebagai sesuatu yang langka. Gotong royong, yang pada era pemerintahan Ir. Soerkarno disebut sebagai isi ekasila, perlu dibudayakan kembali. Saya yakin, di luar jawab, budaya gotong royong masih sangat mudah dijumpai, dibandingkan dengan di Jawa. Nah, dengan itu pula, mengarahkan budaya gotong royong untuk pembangunan ekonomi pedesaan adalah sesuatu yang penting dan menarik.

Yang perlu diperhatikan adalah, jangan sampai dengan adanya UU Desa, yang mengamanatkan setiap desa mendaoatkan dana desa setiap tahunnya, justru membuat para kepala desa (Kades) banyak yang masuk penjara. Mereka harus bersiap menjadi pemimpin yang melayani masyarakat desa dengan dana yang lebih melimpah dibandingkan sebelumnya. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply