Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Dua Sisi Politik Aklamasi

Belakangan ini, fenomena politik aklamasi yang terjadi hampir di setiap partai politik (parpol) dianggap oleh banyak kalangan sebagai sebuah kebangkurtan parpol. Lebih jauh lagi, aklamasi menandakan bahwa parpol belum bisa menerapkan demokrasi di internalnya (Arianto: 2015). Dampak dari aklamasi tersebut antara lain; pertama, hilangnya gagasan segar dalam membangun parpol ke depan. Hal itu terjadi karena partai tidak menerapkan kompetisi yang sehat dalam menawarkan program kerja. Ketua umum yang ditunjuk secara aklamasi lebih condong kepada penyelamatan partai. Sedangkan program kerja yang diinginkan tidak terlihat.
Kedua, lahirnya apolitisme dan apatisme kaum muda terhadap parpol yang didominasi kaum tua. Kaum muda menganggap parpol tersebut bukan tempat yang nyaman karena mereka tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Merebaknya apolitisme dan apatisme kaum muda juga akan mengikis pilar generasi kepemimpinan. Sebab, kaum muda merupakan pilar kaderisasi (Aminuddin: 2015). Intinya, aklamasi dianggap sebagai suatu proses yang akan mengikis demokrasi. Tulisan ini diharapkan bisa menjernihkan pemahaman bahwa aklamasi merupakan salah satu mekanisme yang secara sah diakui di alam demokrasi atau musyawarah mufakat kita.
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), aklamasi adalah pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara. Saya ingin memulai dari sejarah berdirinya negara-bangsa Indonesia, yang pemimpin pertamanya adalah Soekarno-Hatta. Dua proklamator Indonesia itu diangkat secara aklamasi oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atas usul Otto Iskandardinata. Itu adalah contoh konkrit aklamasi yang pernah terjadi—dan mengubah tatanan politik yang ada—di Indonesia.
Selanjutnya, mungkin orang akan mengatakan bahwa alam demokrasi ketika Soekarno-Hatta diangkat menjadi presiden-wakil presiden secara aklamasi sangat jauh berbeda dengan alam demokrasi saat ini. Dulu, aklamasi dipilih karena dalam kondisi mendesak dan penuh ancaman. Berbeda dengan sekarang, demokrasi sudah sedemikian pesatnya berkembang di Indonesia.
Namun, penulis justru ingin mengatakan bahwa demokrasi yang seharusnya dibangun dan dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi, yang menurut Mohammad Nasih disebut dengan demokrasi ultraliberal hasil tiruan Barat. Ini adalah persoalan penting yang menyangkut ideologi negara, yang tentu akan berimplikasi terhadap segala bentuk sikap dan perilaku warga negaranya. Jika kita menyepakati Pancasila sebagai ideologi (baca: dasar) negara, tetapi justru tidak mentransformasikan nilai-nilai yang ada di dalamnya, terus bagaimana negeri kita akan memiliki karakter kekhasan—yang dimbil dari budaya negeri.
Demokrasi Pancasila
Berkaitan dengan pembahasan demokrasi, Nurcholish Madjid pernah menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu kategori yang dinamis. Ia senantiasa bergerak dan berubah, kadang-kadang negatif (mundur), kadang-kadang positif atau maju (Budhy Munawar-Rahman: 2012). Menurut Cak Nur, sapaan akrab Nurcholish Madjid, pada 1947, UNESCO pernah mensponsori sebuah penelitian tentang demokrasi, yang salah satu kesimpulannya adalah ide demokrasi dianggap kabur.
Dalam konteks Indonesia,  kata demokrasi kemudian diberi kualifikasi Pancasila. Hal ini dimaksudkan, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila—yang merupakan nilai “asli” yang digali dari budaya Indonesia—akan menjernihkan kekaburan ide tentang demokrasi tersebut. Terkait mekanisme yang digunakan dalam memutuskan suatu hal, sebenarnya, bisa dicerap dari sila keempat Pancasila. Ya, musyawarah mufakat menjadi nilai tertinggi yang harus diutamakan, baru kemudian menggunakan mekanisme voting jika ternyata tidak ditemukan titik temu.
Dalam konteks ini, aklamasi merupakan bentuk tertinggi dari mekanisme estafet kepemimpinan di Indonesia. Bahwa aklamasi dianggap sebagai pengikis demokrasi, itu terjadi jika dan hanya jika syaratnya tidak terpenuhi, namun kemudian tetap dipaksakan—meskipun sebenarnya tidak, karena demokrasi itu suatu kategori yang dinamis.
Aklamasi bisa dilakukan jika salah satu syarat berikut terpenuhi: (1) hanya ada satu calon yang maju, (2) atau hanya ada satu calon yang memenuhi syarat, atau (3) ada banyak calon, tetapi dalam proses lobi (baca: musyawarah mufakat), mereka menyepakti dan menunjuk satu orang untuk memimpin. Untuk membangun konsesus itu, memang tidaklah mudah. Apalagi dalam politik yang sangat gila kepentingan (individu atau kelompok) seperti saat ini, meskipun kepentingan itu wajib adanya dalam politik. Namun, itulah yang seharusnya mulai dibangun dan dikembangkan (kembali) dalam proses domokratisasi di Indonesia.
Dua Sisi
Menengok jauh sejarah perpolitikan Islam, proses mekanisme pemilihan khalifah yang akan menggantikan Nabi Muhammad Saw. pasca Rasulullah wafat, ternyata juga dengan mekanisme aklamasi. Padahal, pada saat itu bukan tidak ada calon khalifah atau orang hebat yang memiliki jiwa kepemimpinan kuat. Sebut saja, ada Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Khalid bi Walid, Abdul Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah dan masih banyak lagi. Mereka semua adalah pemimpin-pemimpin hebat yang dipercaya mampu mengemban amanah sebagai khalifah oleh masing-masing pendukungnya.
Namun, dengan penuh kebijaksanaan mereka sepakat, bahkan saling mendukung dan menguatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq lah yang pantas “menggantikan” Nabi. Mereka meyakinkan kepada Abu Bakar bahwa ia bisa menjalankan amanah tersebut. Tentu ini sangat kontras dengan kondisi aklamasi saat ini, yang justru mekanisme tersebut digunakan untuk saling telikung dan saling “membunuh” satu sama lain. Itulah perbedaan nilai yang bisa kita renungi.
Nilai-nilai yang dipraktikkan oleh para Sabahat Nabi itulah yang kemudian diadopsi oleh para founding fathers kita dalam menyusun dasar negara dan konstitusi Indonesia. Karena aklamasi merupakan salah satu mekanisme di alam demokrasi, sedangkan demokrasi itu adalah sesuatu yang bersifat dinamis, maka aklamasi juga akan memiliki dua sisi yang senantiasi berubah; sisi negatif dan sisi positif. Nah, dua sisi ini tergantung parpol yang menentukan, mau dibawa ke arah yang positif atau negatif.

Bahwa saat ini aklamasi justru melahirkan kemuduran nilai dan subtansi, itu adalah sisi negatif yang harus diantisipasi jauh-jauh hari oleh parpol. Secara instititusional, parpol harus membangun (kembali) kaderisasi yang kredibel dan berkualitas, mulai dari rekrutmen politik yang selektif sampai kepada proses perkaderan yang sistematis dan terencana. Sebab, hanya dengan itulah generasi pemimpin yang hebat bisa dihasilkan. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Koran Wawasan, 23 Januari 2014
http://epaper.koranwawasan.com/wawasan-jumat-23-januari-2015/

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply