Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

Risma, The Best Leader

Oleh: M. Syamsul Arifin
Awal Februari 2015 kemarin, walikota Surabaya Tri Rismaharini dinobatkan sebagai walikota terbaik ketiga dunia versi World Mayor Project. Ia juga masuk dalam jajaran 50 pemimpin terbaik menurut Fortune. Deretan 50 terbaik dunia itu diisi para tokoh ternama dari berbagai bidang, seperti pemerintahan, bisnis, hiburan, olahraga dan tokoh agama.
Posisi pertama pemimpin terbaik diberikan kepada CEO Apple Tim Cook, yang dinilai berhasil menggawangi perusahaan Apple setelah ditinggal sang pendiri Steve Jobs. Kemudian urutan kedua, ketiga dan keempat, diduduki presiden European Central Bank Mario Draghi, presiden Tiongkok Xi Jinping dan Paus Fransiskus.
Sedangkan walikota Surabaya Tri Rismaharani berada pada posisi ke-24 di atas pendiri facebook, Mark Zucberkerg yang berada di urutan ke-25. Terpilihnya orang nomor satu di Surabaya itu karena dianggap berhasil mengubah kota yang berpenduduk 2,7 juta jiwa menjadi kota metropolis baru di Indonesia, dengan fokus pada ruang terbuka hijau dan pelestarian lingkungan.
Penulis yang memang kelahiran dan bersekolah di Surabaya (tapi saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di Jogja) cukup tahu mengenai kondisi kota pahlawan ini. Surabaya sebelum dipimpin Risma adalah kota yang terkenal dengan polusi dan kepadatan. Tapi kini berubah cantik dengan 11 tanaman asri dan RTH lain. Bahkan, kompleks pemakaman dikembangkan dan didesain ulang agar lebih menyerap air dan mengurangi banjir.
Faktor Pendukung
Surabaya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kota lainnya, juga memiliki segudang masalah yang harus diselesaikan. Namun dengan keuletan pemimpinnya, kota ini berubah menjadi maju dan cantik. Betapa tidak, berbagai prestasi membanggakan, baik dalam negeri maupun kancah global, terus ditorehkannya. Serta berbagai permasalahan kota stape by stape terselesaikan.
Warga Surabaya pun merasa puas dipimpin olehnya, sehingga kepemimpinannya dianggap sukses dan disebut-sebut sebagai the best leader. Kesuksesan memimpin kota ini tentu tidak asjad (asal jadi), ada faktor pendukungnya.
Pertama, karakater pribadi yang ikhlas dan kuat. Faktor yang pertama ini, ditunjukannya dengan kepemimpinan yang bertanggungjawab. Dennis F Thompson (1987) dalam Political Ethics and Public Office menekankan tanggung jawab moral sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari politik. Bahwa, amanah (jabatan) terkandung secara inheren tanggung jawab moral untuk berbuat sesuai dengan tuntutan jabatan dan untuk kepentingan umum.
Seorang pemimpin tidak dibenarkan berbuat semata-mata atas dasar kepentingan individu maupun kelompok. Pasalnya, etika kepemimpinan meniscayakan setiap pemimpin harus bertanggungjawab atas segala tindakan dan keputusan politiknya. Karena itu adalah konsekuensi dari amanah yang diembannya.
Meminjam istilah Jawa, jabatan itu ageman. Ageman sering dipandang sebagai pakaian. Dalam pakaian setidaknya terdapat tiga fungsi utama, yaitu menutupi aib atau aurat, memperindah penampilan, dan menjaga kesehatan. Maka, apabila ada orang yang mengaku memiliki jabatan, apalagi sebagai pemimpin, perangainya harus terpuji dan dalam menjalankan tugasnya harus merasa nyaman selayaknya ia berpakaian.
Hal tersebut, salah satunya, ia tunjukkan saat menanggapi posisinya masuk dalam jajaran 50 pemimpin dunia. Risma yang pada Jumat siang sempat mengatur lalu lintas di depan gedung negara Grahadi karena ada demonstrasi mahasiswa mengungkapkan, “belum apa-apa, karena masih ada warga yang belum sejahtera. Infrastruktur harus ditingkatkan agar tidak ada lagi warga yang merasa tinggal di wilayah pinggiran. Semua harus bisa merasakan rumahnya berada di pusat dengan membuka jalan”.
Kedua, kemampuan intelektualitas. Kesuksesan kepemimpinan Risma tidak berangkat dari intelektualitas yang kosong. Risma adalah lulusan S1 dan S2 ITS dengan jurusan Manajemen Pengembangan Kota. Tidak hanya itu, Risma memulai karirnya dari Kepala seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan, lalu Kepala seksi pendataan dan penyuluhan dinas Bangunan, kepala cabang dinas pertamanan, kepala badan penelitian dan pengembangan, kepala dinas kebersihan dan pertamanan, kepala badan perencanaan pembangunan, dan saat ini menjadi Walikota Surabaya.
Ketiga, dukungan legislatif. Pada saat pencalonan sebagai walikota, Risma diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kini banyak anggota DPRD adalah kader PDIP. Bahkan, ketua DPRD-nya juga dari PDIP. Dukungan legislatif ini penting dalam menjalankan roda pemerintahan. Apabila kepala daerahnya, ketua DPRD dan kebanyakan anggota DPRD adalah dari partai pengusung, agenda pemerintahan biasanya berjalan lancar dan bahkan tanpa hambatan.
Hal itu didasari realitas dewasa ini, perbedaan partai cenderung menjadi hambatan karena perbedaan kepentingan yang memang dibawa dari partai yang bersangkutan. Setidaknya hal ini tampak pada konflik Gubernur Ahok dan (sebagian anggota) DPRD DKI Jakarta dalam pembahasan RAPBD DKI Jakarta tahun 2015. Sekian lama berseteru dan telah dimediasi oleh Kemendagri, tapi tidak menemukan titik temu. Hingga akhirnya, RAPBD DKI Jakarta yang digunakan untuk tahun ini adalah RAPBD DKI Jakarta tahun 2014.  
Menginspirasi
Dowling (2001) menegaskan, tantangan untuk membangun reputasi hebat sehingga dapat menjadi organisasi yang memiliki nama cemerlang, harus dimulai dari pimpinan puncak organisasi. Artinya, maju dan mundurnya suatu daerah tergantung dengan pemimpinnya atau kepala daerahnya.
Prestasi Tri Rismaharani diharapkan dapat menginspirasi kepala daerah lainnya agar benar-benar menjalankan fungsi pemimpin. Peranan pemimpin untuk membawa perubahan terhadap yang dipimpin ke arah kebaikan menjadi tanggung jawab dari pemimpin itu dan harapan besar pengikutnya (konstituante).
Hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai jihad dalam menjalankan amanah yang telah diberikan. Sebagaimana istilah dari jihad itu sendiri yang berasal dari kata jahada (kata benda abstrak, juhd), yang bermakna “berusaha” namun disini ditekankan berusaha dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam.
Penulis adalah Ketua Umum BPL HMI Cabang Yogjakarta, Pegiat Forum Penulis Muda Jogja

Harian Analisa Sabtu, 25 April 2015

Watak Kekuasaan

Oleh: Bambang Arianto

Dinamika politik Indonesia masih saja dipenuhi oleh watak kekuasaan. Hal itu bukan saja terjadi pada pemerintahan sebelumnya, tapi juga dialami oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla). Watak kekuasaan selalu menjadi magnet utama dalam ranah politik Indonesia. Bahkan, paska kontestasi Presidensial 2014, aroma bagi-bagi kekuasaan terutama dalam upaya menempatkan orang yang dinilai berjasa sangat kentara. Termasuk bagi-bagi kekuasaan yang terjadi di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ironisnya, aroma watak kekuasaan juga menyeret nalar politik para relawan Jokowi-Kalla untuk larut dalam permainan politik balas budi. Sebut saja, Cahaya Dwi Rembulan Sinaga yang menjadi komisaris independen Bank Mandiri, Pataniari Siahaan (komisaris Bank Negara Indonesia), Sonny Keraf (komisaris Bank Rakyat Indonesia), Jeffry Wurangin (komisaris Bank Rakyat Indonesia), Refli Harun (komisaris Jasa Marga), dan Diaz Hendropriyono (komisaris Telkomsel). Bahkan, nama Sukardi Rinakit disebut-sebut ditawari masuk jajaran komisaris Bank Tabungan Negara, meskipun akhirnya menolak.
Penempatan sejumlah relawan di sejumlah pos komisaris BUMN memang ada yang dinilai tepat, seperti mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution yang diberi amanah sebagai komisaris Bank Mandiri. Tetapi, banyak relawan yang kesannya dipaksakan, hanya demi memenuhi watak kekuasaan, sehingga cara-cara nepotisme lebih mengemuka.
Mafhum disadari, bahwa praktik menempatkan sejumlah orang kepercayaan di jajaran BUMN sebenarnya cara-cara klasik seperti kerap dilakukan Presiden sebelumnya, yang mana kala itu peran dan fungsi relawan tidak begitu dominan. Namun, tentulah berbeda jika dibandingkan dengan pemerintahan Jokowi saat ini, yang mana relawan berperan aktif menjadi saluran partisipatoris baru non-partai.
Sejatinya penempatan para relawan harus mengedepankan prinsip manajemen tata kelola, penempatan tersebut harus berdasarkan prinsip-prinsip integritas, transparansi, dan imparsialitas, bukan justru mengedepankan politik balas budi. Alhasil, langkah pemerintah merujuk para relawan menjadi komisaris BUMN dapat menjadi preseden buruk bagi masa depan dan upaya menghidupkan nilai-nilai kerelawanan (volunterimse) di Indonesia.
Kategori Relawan
Mengutip Amalinda Savirani (2015), relawan dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, relawan yang berasal dari mantan aktivis yang terlibat dalam kisaran tahun 1990-an atau lebih dikenal sebagai aktivis gerakan pro-demokrasi untuk menggulingkan rezim Soeharto. Kedua, adalah aktivis dari berbagai organisasi non-pemerintah mulai dari gerakan anti-korupsi, petani dan kelompok masyarakat adat.
Ketiga, adalah seniman dan orang-orang di sektor kreatif. Kelompok pertama dan kedua memiliki agenda politik, namun sayangnya tidak memiliki massa yang jelas. Berbeda dengan kelompok ketiga yang tidak memiliki agenda politik tetapi memiliki banyak jejaring massa dari semua lapisan masyarakat. Hal itu disebabkan bekal popularitas yang dimiliki oleh para artis dan seniman sehingga dapat menarik lebih banyak pendukung dan pengikut.
Kategori tersebut akhirnya dapat menjelaskan soal karakteristik relawan yang muncul dari berbagai aspek kehidupan sekaligus berperan sebagai pengawas dan pengimbang terhadap kekuasaan negara. Sebab, di negara yang sudah mapan dan paling demokratis sekalipun tidak ada suatu jaminan bahwa “trias politika” mengenai pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) dapat berjalan dengan baik dan ideal.
Dalam upaya membangun demokrasi ekstra-parlementer, para relawan Jokowi-Kalla sejatinya harus tetap berada diluar pemerintahan sebagai pengawas dan pengontrol pemerintahan. Sebab, tugas utama para relawan adalah meneliti sebab-akibat dari kinerja kebijakan dan program publik. Terutama, soal apakah suatu kebijakan publik dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang atau hanya diputuskan sepihak untuk memenuhi kepentingan politik semata. Langkah taktis tersebut ditujukan untuk menegaskan posisi relawan tidak saja berperan sebagai pengembira, tetapi juga mampu menjadi pengawas pemerintahan Jokowi-Kalla secara komprehensif.
Oleh sebab itu, ada beberapa langkah taktis yang perlu diambil oleh para relawan; Pertama, relawan harus dapat menawarkan wacana pemikiran alternatif di tingkat ideologi sebagai jalan lain atau tandingan bagi konsep kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintahan. Kedua, relawan dituntut bukan sekadar hanya mampu berwacana, melainkan juga memberikan contoh nyata atau konkret mengenai penerapan di lapangan, sehingga mampu menyandingkan wacana publik dengan pemerintah.
Ketiga, relawan harus mampu menyediakan berbagai informasi yang berguna bagi publik terutama seputar kebijakan pemerintahan. Informasi ini sejatinya mampu menjadi suplemen bagi pemberdayaan, pendidikan politik melalui jejaring diskusi secara reguler baik yang dimulai dari kota sampai ke komunitas-komunitas basis di desa. Kondisi ini akan menciptakan suasana dan mendorong orang saling berdiskusi dan melahirkan partisipasi aktif. Hal itu diperkuat dengan lenturnya gerak relawan dalam melakukan sosialisasi dan komunikasi politik karena tidak terikat oleh partai politik tertentu.
Epilog
Akhirnya, meskipun banyak pihak yang menilai penempatan para relawan di jajaran BUMN, sebagai langkah antisipatif untuk memperkuat posisi politik pemerintahan Jokowi-Kalla, Namun, penempatan para relawan seperti ini menunjukkan Presiden Jokowi kembali ingkar janji dan telah mengkhianati seruan revolusi mental. Jika cara penempatan ini terus merebak dijajaran BUMN, hal itu semakin menguatkan dugaan yang menilai BUMN adalah “sapi perah” pemerintahan Jokowi-Kalla.
Pada akhirnya, jika para relawan masih larut dalam watak kekuasaan yang sarat politik balas budi, eksesnya hakikat nilai-nilai kerelawanan (volunterisme) akan semakin tergerus. Selain itu, impian para relawan untuk mengawal komitmen pemerintahan Jokowi, terutama menjadikan BUMN sebagai pilar penting dalam pembangunan hanya akan sekedar menjadi basa-basi politik. Walhasil, dalam upaya menagih Nawacita Jokowi-Kalla akan lebih bijak dan arif, para relawan Jokowi-Kalla tetap berada diluar pemerintahan, agar ideologi kerelawanan tidak disesaki oleh watak kekuasaan.***
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM Yogyakarta, dan Pegiat Forum Penulis Muda Jogja.


Emansipasi Tingkat Tinggi

Oleh Ulfa Nurul Wahida
Mahasiswi FITK UIN Walisongo Semarang & Aktivis Muda Gerakan Muslimah RA. Kartini
DALAM buku karya Betty Freidan berjudul “The Feminine Mystique” 1963 dijelaskan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Perspektif virus peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan sering diperjuangkan oleh orang-orang feminis.
Denyut suara emansipasi yang dikoar-koarkan oleh wanita semakin kuat di tengah cengkraman maut perkembangan zaman. Konsep emansipasi yang diilhami dari gerakan feminisme liberal ini menuntut kesetaraan teruntuk kaum wanita. Tanpa melihat status, golongan, dan agama, apabila dia adalah wanita, mereka wajib dan harus mendapatkan kesetaraan tersebut.
Tidak hanya berperan dalam ranah domestik, bagi wanita, selama mereka mampu dalam menjalankannya, mengapa harus dikungkung dalam ranah domestik saja? Sebuah pertanyaan yang mudah, tapi membutuhkan jawaban secara detail dan komperehensif. Dalam sejarah Indonesia pra kemerdekaan, masyarakat Indonesia, khususnya dari kaum hawa, mengusung Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor gerakan emansipasi wanita pada masa kolonial. Sebab, karena dia-lah yang “teguh” dalam memperlopori gerakan perempuan pada masa itu. Tujuannya adalah agar wanita berhak mendapatkan kesetaraan hak-nya dalam bidang pendidikan. Ingat! Hanya pendidikan!
Alhasil, berkah dan rahmat Tuhan YME terlimpahkan untuk, Kartini. Berkat peran dan perjuangnya dia mampu membawa wanita dalam kemerdekaan. Dulunya wanita hanya berperan sebagai wadah kasur (beranak), dapur (memasak), sumur (bersih-bersih). Kini, pendidikan sudah bisa didapatkan seorang wanita hingga sekarang. Dahulu wanita diperbudak dan terjerumus dalam lembah kegelapan. Kini, keluar dan bebas dengan iringan cahanya yang terang (baca: Habislah gelap, Terbitlah terang). Namun, dengan berputarnya roda kehidupan, keserakahan wanita mulai muncul setelah hak mereka terpenuhi.
Era-globalisasi berjalan begitu cepat, kehausan akan hal yang baru selain di bidang domestik menuntut mereka untuk berekspresi dalamruang yang terbuka. Buktinya, selain dalam bidang pendidikan, kebanyakan wanita sekarang ingin diakui eksistensinya dalam publik dengan cara menggeluti bidang yang mereka inginkan. Banyak dari mereka yang telah berkecimpung dalam organisasi sosial, memiliki profesi dan bahkan meniti karirnya dalam dunia politik.
Kebutuhan tersebut pada dasarnya wajar-wajar saja. Tidak ada yang melarang ataupun bahkan menghalangi. Asal tidak berlebihan, kebutuhan tersebut merupakan hak yang pantas mereka dapatkan. Namun, setelah mendapatkan ruang yang cukup untuk bereksistensi dan sibuk dalam ruang publik, menyebabkan mereka lupa akan kewajiban pokok yang harus dilakukan seorang wanita. 
Ya, kebanyakan mereka lupa, tidak sadar, bahkan tidak memperdulikannya. Kewajibannya sebagai seorang istri dari seorang suami dan ibu dari seorang anak mulai luntur. Yang berperan hanya pembantu, pembantu, dan pembantu. Mereka sibuk dengan profesi dan karir. Dan ini-lah yang disebut “emansipasi tingkat tinggi” alias “kebablasen”.
Peran Mulia Wanita
Di antara persoalan yang sering muncul dalam masyarakat, adalah kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif dalam masyarakat. Misalnya, dalam masyarakat (adat-istiadat) Indonesia memiliki kedudukan berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, bentuk dan susunan masyarakat tempat wanita tersebut berada. Kedua, sistem nilai yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Nah, dari sistem nilai ini akan menjadi peran sekaligus berfungsi sebagai pedoman kehidupan mereka. Apabila dalam suatu masyarakat yang dianut berdasarkan ajaran islam, otomatis kedudukan wanita lebih ditentukan ajaran islam sendiri.
Ajaran islam sendiri memberikan kedudukan dan penghormatan yang tinggi kepada wanita, dalam hukum ataupun masyarakat. Terdapat beberapa bukti yang menguatkan argument bahwa ajaran islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada wanita. Bahkan, sebagai bentuk penunjukan betapa pentingnya kedudukan wanita, dalam al-Quran terdapat surah An-nisa (wanita). Tidakhanya al-quran yang menguak eksistensi wanita. Terdapat puluhan hadits Nabi Muhammad yang membicarakan kedudukan wanita dalam hokum dan masyarakat.
Salah satu hadits rasulullah yang sangat volusioner berbunyi “Yang terbaik di antara manusia adalah yang terbaik sikap dan prilakunya terhadap kaum wanita”. Atau pula: “Barang siapa yang membesarkan dan mendidik dua putrinya dengan kasih sayang, ia akan masuk sorga”. Kemudian: “Sorga itu berada di bawah telapak kaki ibu” (hadits). Berdasarkan hadits tersebut, dapat kita lihat betapa muliannya seorang wanita. Apalah artinya karir, apalah artinya profesi, jikalau tugas pokok sebagai seorang wanita. Oleh sebab itu, Islam menetapkan peran wanita sebagai ibu dan meneger rumah tangga. Dan peran tersebut sangat cukup dan tidak lebih, dari pada mengkoar-koarkan suara emansipasi yang berujung tidak berarti.
Merupakan sesuatu yang sangat penting bagi wanita untuk lebih fokus pada perannya. Islam sangat memprihatikan peran dan tugas perempuan. Jika kita membaca hadits, Rasulullah bersabda “Madarasah yang paling utama adalah ibu”. Sebab, ibu-lah adalah kunci lahirnya generasi tangguh yang akan melanjutkan peradaban bangsa yang lebih baik. 
Selain berperan dalam ruang domestik, Islam juga memberi kesempatan untuk perumpuan dalam ruang publik. Al-qur’an dalam khitobnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat telah menepatkan perempuan pada posisi yang seimbang dengan laki-laki. Keduanya sama-sama dihormati kedudukannya oleh syara’, dilindungi, dan dibebani kewajiban yang sama. (baca:QS al-Nisâ [4]: 32).
Selainitu, Perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat dengan cara amarma’rufnahimunkar, meski caranya berbeda. Dalam surat Ali-Imrân [3] ayat 110, “Kamu adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar”. Nah, dari persepektif di atas telah menunjukkan, bahwasahnya hal pokok yang harus dilakukan seorang perempuan adalah menjalankan perannya dengan benar. Peran dalam ruang domestic, menjadi ibu dan istri. Peran dalam ruang public adalah menebarkan amarma’rufnahimunkar. Iangat, suara emansipasi tidaklah berarti. Justru akan membawa pada kesesatan yang jelas.WaAllahua’lam bi al-showab.(**)
 Radar Bangka Selasa, 21 April 2015

Perempuan dan Gerakan Radikal

Oleh: Defina Holistika Aktif di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) UIN Walisongo, Semarang
Kemunculan berbagai gerakan radikal bukanlah sebuah fenomena yang mengherankan. Dalam kondisi yang sarat akan ketimpangan, baik dalam keadilan hukum, ekonomi, mapun kelas sosial, perlawanan pun kemudian muncul dalam sebuah gerakan radikal. Cara kekerasan pun dipilih sebagai jalan terakhir untuk mewujudkan ambisi memperbaiki carut-marut dunia. Pengikut gerakan ini tidak bisa dibilang sedikit. Selalu ada saja sekelompok orang yang tertarik untuk bergabung meski harus menempuh jalan yang sulit. Tentu saja kaum laki-laki adalah yang terdepan. Gerakan yang mengusung jalan kekerasan ini dianggap lebih condong pada kaum adam yang diidentikkan dengan kekuatan fisik. Kekuatan ini menjadi prasyarat sekaligus penentu kekuatan sebuah kelompok radikal.
Lalu bagaimana eksistensi perempuan dalam gerakan ini? fenomena yang terjadi belakangan ini menjadi jawabannya. Beberapa waktu lalu masyarakat sempat dicemaskan dengan pemberitaan mengenai sejumlah perempuan yang diduga memilih jalan nekat bergabung dengan IS. Seperti yang dilakukan tiga remaja putri asal Inggris yang bertolak menuju Suriah melalui Turki. Fenomena ini ternyata juga telah menular ke Indonesia. Lihat saja pemberitaan mengenai hilangnya satu keluarga, berikut seorang perempuan yang tengah mengandung, dan seorang balita yang memisahkan diri dari kelompok tur di Turki. Mereka diduga menyelinap ke Suriah untuk bergabung dengan IS. Kenekatan yang sama juga dilakukan oleh seorang mahasiswi asal Demak serta beberapa Perempuan asal Jawa Barat.
Lalu apa sesungguhnya yang hendak mereka (perempuan) cari hingga rela meninggalkan kampung halaman dan keluarga tercinta? Apa yang sesungguhnya bisa mereka lakukan apabila medan jihad telah dikuasai laki-laki? Melihat kenyataan ini, tentu dapat disimpulkan bahwa posisi perempuan dalam kelompok ini masihlah inferior. Namun, hal ini juga berarti bahwa gerakan radikal memiliki daya tarik lain yang sanggup menjadi medan magnet yang begitu kuat.
Pada dasarnya, perempuan juga memilki hasrat yang sama dengan laki-laki untuk dapat mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang damai. Merupakan hal yang wajar apabila mereka beranggapan bahwa gerekan radikal semacam IS mampu mewujudkan impian mereka. Konsep-konsep yang ditawarkan, seperti negara khilafah akhirnya menjadi jalan keluar dari kebuntuan solusi selama ini. Hal ini tentu saja hanya berlaku bagi kelompok perempuan yang sebelumnya memang telah meyakini konsep negara Islam.
Gagasan-gagasan mereka yang cenderung radikal, tidak mudah diterima oleh masyarakat luas. Kebanyakan orang bahkan sangat mengecam gerakan ini, karena sangat meresahkan. Munculnya gerakan-gerakan radikal ke muka publik akhirnya sekaligus membuka celah bagi mereka yang sepakat untuk bergabung di dalamnya. Hal ini wajar, mengingat kebutuhan manusia yang butuh pengakuan atas eksistensinya. Dalam kelompok ini mereka beranggapan telah mendapatkan posisi dan sekaligus bisa berperan aktif. Meski kelompok ini terkesan patriarkat, namun peran perempuan di dalamnya sama sekali tidak bisa dipandang sebelah mata. Lanny Octavia, dari Yayasan Rumah Kitab yang meneliti peran perempuan dalam gerakan-gerakan radikal ini sangat meyakini bahwa perempuan memiliki pengaruh besar dalam tubuh sebuah gerakan radikal. Lanny yang pernah mewawancarai beberapa perempuan anggota gerakan radikal bahkan menegaskan bahwa tanpa peran perempuan, kelompok fundamentalis ini akan lumpuh.
Menjadi anggota kelompok radikal tak serta merta membuat perempuan diturunkan ke medan perang. Perempuan dianggap memiliki lahan jihad lain, yang kelak juga akan mengantarkan mereka menuju gerbang surga, sama seperti para mujahid laki-laki. Peran utama perempuan dalam kelompok ini dilakukan melalui reproduksi. Mereka merasa menjadi sosok yang sangat mulia dan istimewa ketika bisa melahirkan banyak anak yang akan memperluas penyebaran ideologi mereka, serta meneruskan perjuangan dalam berjihad. Tak mengherankan apabila mereka juga tidak keberatan dipoligami. Sebab, melalui cara ini akan ada lebih banyak anak yang dihasilkan dan tentu saja akan lebih besar pahala yang dijanjikan.
Selain itu, sekelompok perempuan yang lain juga berusaha menunjukkan eksistensi mereka melalui keterampilan yang dimiliki. Mereka berusaha menunjukkan kelebihan mereka seperti dalam hal penguasaan alat berteknologi canggih, bahasa, dan merakit bom. Variabel-variabel semacam ini tentu mebuat mereka lebih dipertimbangkan dan memiliki posisi strategis. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal merupakan wujud dari rasa rindu akan sebuah pengakuan. Pengakuan ini tidak mereka dapatkan di tengah masyarakat luas tidak bisa menerima ideologi mereka. Akibatnya, posisi mereka menjadi termarginalkan. Mereka butuh pengakuan akan gagasan-gagasan yang membuktikan kepedulian mereka terhadap lingkungan sekitarnya. Sayangnya, hasrat ini berbelok ke arah yang salah.
Kesalahpahaman ini tentu tidak dapat dibiarkan, terlebih ada indikasi bahwa pemahaman yang salah ini telah menyebar luas. Perempuan yang memilih cara pintas untuk merealisasikan mimpi mereka, sebenarnya belum bisa memahami makna jihad yang sebenarnya. Keputusan mereka untuk bergabung dengan gerakan radikal sesungguhnya juga menggambarkan kedangkalan pemahaman agama yang mereka miliki. Hal ini tentu saja harus diluruskan. Kebanyakan mereka berasal dari kalangan fundamentalis yang mendapatkan pengajaran agama yang cenderung dogmatis dan memicu pemahaman yang tidak sempurna.
Untuk menangkal ancaman gerakan radikal, peran keluarga juga sangat dibutuhkan untuk memberikan perlindungan dari ideologi-ideologi yang menyimpang. Terutama sosok Ibu yang telah merawat anak sejak kecil, sehingga bisa lebih leluasa untuk menanamkan nilai-nilai agama yang benar. Secara umum, keluarga juga berperan dalam mengawasi pergaulan anak. Dengan pemantauan yang tepat, tidak sulit untuk mendeteksi ketika ada kemungkinan perilaku yang menyimpang dari seorang anak. Wallahu a’lam bi al-shawab.(**)
Radar Bangka Kamis, 23 April 2015